Aku membencinya, itulah yang selalu
kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun
menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya.
Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.
Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah
menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku
melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya
karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan
meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan
siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut
mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya
mereka.
Ketika menikah, aku menjadi istri yang
teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga
memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani
tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku
menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku.
Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku
bahagia dengan menuruti semua keinginanku.
Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada
seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku
selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang
diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa
mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci
ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan
pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku,
aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan
rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku
sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.
Tadinya aku memilih untuk tidak punya
anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya
dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia
menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa
minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan
baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak
menggugurkannya.
Itulah kemarahanku terbesar padanya.
Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar
dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan
tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan
semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama
kedua anak kami.
Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa
berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku
bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan.
Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar
anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada
peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa
mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya,
saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena
merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.
Sebelum ke kantor, biasanya suamiku
mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga
memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha
mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum
bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan
pintu, seakan-akan berat untuk pergi.
Ketika mereka pergi, akupun memutuskan
untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di
salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu
temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik
termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus
membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari
bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian
terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha
mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku
menelepon suamiku dan bertanya.
“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang
jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa
menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas
meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.
Dengan marah, aku mengomelinya dengan
kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama
kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun
mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”
“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan
ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya
suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama
salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon.
Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang
membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah
membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku
kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku
ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.
Hujan turun ketika aku melihat keluar dan
berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku
semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak
ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya
hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa
tidak enak dan marah.
Teleponku diangkat setelah beberapa kali
mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara
asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara
lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu
istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing
itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami
kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat
itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon
ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat
handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan
sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.
Entah bagaimana akhirnya aku sampai di
rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di
sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di
depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena
selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya
setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib
terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku
telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan
stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan
itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang
shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku.
Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul
memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu
membuatku menangis.
Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku
duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali
inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas.
Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku
menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh
tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan
kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu
selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan
pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak
menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian
wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja.
Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku.
Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu
membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak
mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami
berbicara.
Aku teringat betapa aku tak pernah
memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya.
Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin
dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah
melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan
terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu
apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu
apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa
suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak
mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant
karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk
anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum
ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun
pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari
rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih
dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal
teman-temanku.
Saat pemakaman, aku tak mampu menahan
diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan
tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat
tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku.
Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu
mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.
Hari-hari yang kujalani setelah
kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan
tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di
hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring
kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat
hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu.
Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya
seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok
menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang
meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah,
membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku
menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan
sosoknya di sebelahku.
Dulu aku begitu kesal kalau tidur
mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun
karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering
berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami
terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan
pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku
memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya
masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi
tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan
pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa
disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap
bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan
itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku
sudah terkena panah cintanya.
Aku juga marah pada diriku sendiri, aku
marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku
marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang
membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua
penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang,
tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan
ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada
Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun
karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu
sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit.
Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari
keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini
kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka
setelah kepergian suamiku.
Empat puluh hari setelah kematiannya,
keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak
yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku.
Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan
suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli,
yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku
untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir
tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji
terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak
menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini.
Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah
tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan
rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku
tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup
karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk
menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah
punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.
Kebingunganku terjawab beberapa waktu
kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak
sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan
suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia
menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu
berkata apapun adalah isi suratnya untukku.
Istriku Liliana tersayang,…
Maaf
karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus
membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku
tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu
yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik
yang pernah kulakukan untukmu.
Seandainya
aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau
kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah
menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak
ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan
tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan
mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.
Jangan
menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu
yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk
mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan
kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik
dariku.
Teruntuk
Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu.
Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku.
Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu
ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!
Aku terisak membaca surat itu, ada gambar
kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia
mengirimkan note.
Notaris memberitahu bahwa selama ini
suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil
warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil
deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun
dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis
terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal
menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.
Aku tak pernah berpikir untuk menikah
lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang
masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk
anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu
meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan
sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.
Kini kedua putra putriku berusia duapuluh
tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah
seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah
menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya
bu?”
Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta
sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang
ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan
belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan
belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya
atas nama cinta.”
Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?
Aku menggeleng, “bukan, sayangku.
Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah
mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang
begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”
Aku mungkin tak beruntung karena tak
sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun
untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku
untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak
pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.
English Version :
I hate it, that’s what always whisper in
my heart for most of our time together. Though married, I never really
gave my heart to him. Married parents under compulsion, make me hate my
own husband.
Although forced marriage, I never showed
hatred attitude. Though hated it, every day I serve him as wife the
task. I had to do it all because I had no other grip. Several times the
urge to leave but I do not have the financial capability and support for
anyone. Both my parents were very fond of my husband because according
to them, my husband is a figure of perfect husband for their only
daughter.
When married, I became a wife who is very
spoiled. I did everything as I please. My husband also indulged in such
a way. I never really had my duties as a wife. I always depend on him
because I thought it was supposed to be after what he did to me. I have
given my life to him so that made me happy with his duty to obey all my
wishes.
In our house, I’m the queen. No one dared
to resist. If there is the slightest problem, I always blame my
husband. I do not like a wet towel placed on the bed, I hate to see it
put the spoon stirring the rest of the milk on the table and it left a
sticky, I hate when he uses my computer even if only to finish the job. I
was angry when he hung his clothes in kapstock my shirt, I was also
angry when he wore a toothpaste without squeezing it neatly, I was angry
when he contacted me through many times when I’m having fun with my
friends.
At first I chose to not have children.
Although it does not work, but I do not want to take care of the child.
Initially he and I will support the family planning with the pill. But
apparently he hid his desire so deep that one day I forgot to take birth
control pills and even though he knew he had let it. I also pregnant
and realized after more than four months, dokterpun reject abortion.
That’s the greatest anger him. Anger grew
when I became pregnant and had a pair of twins had a difficult birth. I
forced him to act a vasectomy so I’m not pregnant anymore. Dutifully,
he did all my wishes because I threatened to leave with our two
children.
Time passed until the children do not feel repetitive to-eight years.
Like the previous morning, I woke up last. Her husband and children
were waiting for me at the dinner table. As usual, it was he who
provides breakfast and drive the kids to school. That day, he reminded
that the day was the anniversary of my mother. I just replied with a nod
without regard to the words that remind the events the previous year,
when I choose to go to the mall and was not present at the mother. Well,
because they feel trapped by my marriage, I also hate my parents.
Prior to the office, usually my husband
just kissed me and followed the children. But that day, he also hugged
me so the kids tease him noisily. I tried to dodge and let go of her
arms. Although finally smile with the children. He returned several
times to kiss at the door, as if the weight to go.
When they leave, I will decide to go to
the salon. Spend the time to salon is my hobby. I arrived at the salon
langgananku few hours later. In the salon I met one of my friends as
well as those who did not like. We chat with each other engrossed
including exhibiting our activities. It was time I had to pay the bills
salon, but how shocked I was when I realized that my wallet left behind
at home. Although the deepest reach into my bag until I could not find
it in the bag. Trying to remember what happened until I could not find
my wallet I called my husband and ask.
“Sorry dear, Farhan yesterday asking
pocket money and I do not have small money it took from your wallet. I
forgot to put it back into your bag, if not one I put on my desk. “Said
explained gently.
Angrily, I scolded her harshly. I hung up
without waiting for finish. Shortly thereafter, handphoneku resumes and
although still upset, I will lift it with half snaps. “What else?”
“Honey, I’m home now, I’ll grab his
wallet and drove him to you. Unfortunately now there is where? “Asked my
husband quickly, afraid I hung up again. I mention the name of my salon
and without waiting for the answer again, I re-hung. I spoke with the
cashier and said that my husband would come to pay my bill. The owner of
the salon that my friend had in fact let me go and said I could pay for
it later when I come back again. But the shame of the “enemy” also come
to hear me out of my wallet makes me proud to owe first.
Rain fell when I look out and hope the
car until my husband soon. Minutes stretched into hours, I was getting
impatient so started calling my husband’s cell phone. There was no
response despite repeated call. Though usually only two times my phone
rings already lifted. I began to feel uncomfortable and angry.
My phone was appointed after several
attempts. When sound bentakanku yet again come out, a strange voice
answered the phone my husband. I was silent for a moment before the
sound stranger introduced himself, “Good day, mother. Is the mother the
wife of the father armandi? “I answer that question soon. Stranger
turned out to be a cop, he was told that my husband had an accident and
he is currently taken to the police hospital. At that moment I was
silent and only answer thank you. When the phone is closed, I crouched
in puzzlement. My hands clutched the phone in my hands and some salon
employees approached me with alacrity asked what was wrong until my face
turned pale white as paper.
Somehow I ended up in hospital. Somehow
also knew the whole family was there to catch up. I’m just waiting for
my husband’s silence in front of the emergency room. I do not know what
to do because all this was he who did everything for me. When finally
after waiting several hours, just when the maghrib prayer echoes sounded
a doctor came out and delivered the news. My husband is gone. He went
not because of the accident itself, stroke was the cause of his death.
Done heard that fact, I even busy parents and parents reinforce the
shock. There was absolutely no drop of tears on my eyes out. I was busy
calming the mother and father-in-law. Children who are hit with a tight
hug but their grief was not able to make me cry.
When the corpse was brought into the
house and I sat in front of him, I stared face. I realize this is the
only time I really looked at his face that seemed fast asleep. I
approached her face and looked at it carefully. That’s when my chest
becomes congested remembered what he’d given me for ten years together. I
touched his face gently that has been cold and I realize this is the
first time I touched her face, which had always decorated with a warm
smile. Tears erupted dimataku, blurring my vision. I gasped trying to
wipe the tears did not hinder my last look at him, I want to remember
all the sweet memories of his face so that my husband could not have
ended there. But instead of stopping, the torrential tears flooded down
my cheeks. Warnings from mosque imams who are not able to arrange the
funeral procession made me stop crying. I tried not to, but my chest
tightness remember what I did to him last time we talked.
I remembered how I never pay attention to
his health. I almost never set meal. Though he always manage what I
eat. He noticed vitamins and medications should kukonsumsi especially
when pregnant and after childbirth. He never missed eating regularly
reminded, sometimes even fed me when I’m lazy to eat. I never knew what
he was eating because I never asked. Even I do not know what he likes
and dislikes. Almost the entire family knows that my husband is a fan of
instant noodles and strong coffee. My chest tightened to hear it,
because I know he may be forced to eat instant noodles because I hardly
ever cook for him. I’m just cooking for the kids and myself. I do not
care she had eaten or not when I go home. He can eat my cooking only
when left. And he came home late at night every day because of the
office is quite far from home. I never want to respond to his request to
move closer to his office for not far from where my friends live.
At the funeral, I could not stop myself. I
fainted when I saw his body is lost along the stockpiled soil piles. I
do not know anything until waking up in my big bed. I awoke with a sense
of regret fulfilling my chest cavity. My extended family in vain to
persuade me because they never knew why I was so hurt to lose him.
I spent the days after his departure is
not freedom as long as it wanted, but instead I was trapped in the
desire to be with him. In the early days of departure, I sat stunned
staring at an empty plate. Father, mother and mother-in-law talked me
into eating. But what I remember was when my husband talked me into
eating when I’m mengambek first. When I forget to bring a towel in the
shower, I yelled to call as usual and when even my mother who came, I
crouched down crying in the bathroom hope he comes. Habit to call him
any time I can not do something at home, making his friend answered the
phone confusion. Every night I waited in the bedroom and expect the next
morning I woke up next to her figure.
I was so annoyed when his snoring sleep
hear sound, but now I even woke up often longed to hear again. I was
upset because he was often a mess in our bedroom, but now I feel our
bedroom was empty and hollow. I was so upset when it does the job and
left it on my laptop without me log out, now I’m staring at a computer,
the keys rubbed his fingers hoping the former is still left there. I
used to like it at least to make coffee without placemats on the table,
now the scar is left at breakfast terakhirnyapun not want to erase.
Typical television remote hiding, is now easily found, though I wish I
could replace the loss by losing the remote. All the stupidity that I
did because I realized that he loved me and I was hit by an arrow of
love.
I’m also angry at myself, I was angry
that all seem normal even though he was not there. I was angry because
her clothes are still there to leave the smell that made me nostalgic. I
am angry because they can not stop all my sorrow. I am angry because
nobody else is persuaded me to calm down, nothing that reminds me pray
even now I do with sincerity. I pray because I want to apologize, to
apologize to God for wasting husband was awarded to me, asking
forgiveness for being a bad wife to her husband who was so perfect.
Sholatlah are able to remove my grief a little. Love God showed to me
with so much attention from the family for me and the kids. My friends
who had been defending Stand up, almost never show their noses after the
departure of my husband.
Forty days after his death, the family
reminded me to rise from adversity. There were two children waiting for
me and should I live. Back a sense of confusion came over me. During
this time I knew something wrong and never work. All done my husband.
How much income I’ve never cared, I cared about only the amount of
dollars which he transfers into my account for personal use and wear for
every month the money is almost never left. From the office where he
works, I get the final salary and bonus compensation. I was speechless
when he saw it did not expect, it turns out the entire salary is
transferred into my account so far. Though I had never the slightest use
for household purposes. Either from where he obtained the money to meet
other household needs because I never even asked about itu.Yang I know
now I have to work or my children would not be able to live because of
the number of final salary and bonus compensation would not be enough to
feed three of us. But work it in? I almost never have any experience at
all. Everything is always governed by him.
Bewilderment missed some time later. My
father came with a notary. He brings a lot of documents. Then give a
letter notarized. Husband’s affidavit that he bequeathed his entire
estate to me and the kids, he accompanied his mother in the letter but
that made me unable to say anything is the letter for me.
My wife Liliana dear, …
Sorry to
have to leave first, dear. sorry to make you responsible for taking
care of everything yourself. I’m sorry because I can not give you the
love and affection again. God gave me the time is too short for love and
children is the best thing I ever did for you.
If I
could, I wanted to accompany love forever. But I do not want you to lose
my love for granted. I’ve been saving little by little to the life you
guys later. I do not want to love hard after I am gone. There’s not much
but I hope I can give love to use it to raise and educate children. Do
your best for them, yes dear.
Do not
cry, my love is spoiled. Do a lot of things to make your life wasted all
this time. I give you the freedom to realize the dreams that you do not
have time for this. Forgive me if I trouble you and may God give you a
better mate than me.
For
Farah, my beloved daughter. Sorry because my father could not be there
with you. Be a good wife like you and Farhan, knight protector. Take
care of mother and Farah. Do not be a naughty boy again and always
remember wherever you are, my father would see him there. Okay, Buddy!
I wept reading the letter, there is a
cartoon with glasses that are typical of the tongue stuck out my husband
if he sent the note.
Notary told that during this time my
husband has some insurance and savings deposits from the legacy of his
biological father. My husband made some effort from the results of such
savings deposits and the business was quite successful despite
dimanajerin by those beliefs. I can only cry knowing how much he loved
us, so that when death came to him he still flooded us with love.
I never thought to marry again. The
number of men who attended was able to remove the figure is still so
alive in my heart. Day after day just kuabdikan for my children. When my
parents and my in-laws went one by one leaving selaman ever, none left
the sadness deep sadness when my husband left.
Now my daughter’s two sons aged
twenty-three years. In two days my daughter married a boy from across
the land. Our daughter asked, “Mom, I’m going to do it later after
becoming a wife, Farah because it can cook ga, ga nyuci, how ya lady?”
I hugged her saying “Love love, love your husband, love your choice
of your heart, love what he has and you will get everything. For love,
you will learn to please him, will learn to accept his shortcomings,
will learn that for any problem, you will finish it in the name of love.
”
My daughter looked at me, “like a
mother’s love for the father? Love is that what makes the mother
remained loyal to the father until now?
I shook my head, “no, my dear. Love your
husband like a father loves my mother used, like a father loves you
both. Loyal to the father because the mother’s father’s love is so great
in the mother and both of you. “
I may not have time lucky for not showing
my love for my husband. I spent ten years to hate him, but spent most
of the rest of my life for love. I’m free of him because of death, but I
could never free from the love that is so sincere.
Dikutip dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar